Pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah
(science)
Apa perbedaan antara Pengetahuan (knowledge)
dan pengetahuan ilmiah (science)?
Ilmu
berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengetahui,
memahami dan mengerti benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut Science, dari
bahasa Latin yang berasal dari kata Scientia (pengetahuan) atau Scire
(mengetahui). Sedangkan dalam bahasa Yunani adalah
Episteme
(pengetahuan).
Dalam kamus Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu bidang yang tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu
(Kamus Bahasa Indonesia, 1998)
Pengetahuan adalah keseluruhan
pemikiran, gagasan, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan
segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sebelum filsafat dan ilmu
pengetahuan berkembang, lebih dulu berkembang mitos dan pengetahuan pra-ilmiah
sebagai jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi manusia. Tatkala jawaban
yang diberikan mitos dan pengetahuan sehari-hari itu tidak lagi memuaskan
(memadai), muncul upaya untuk menjelaskan fenomena alam dengan penjelasan
rasional dan kemudian didasarkan atas pengalaman (empiri) untuk memberikan
jawaban terhadap fenomena alam dan pengalaman hidup manusia. Dalam perkembangan
selanjutnya, kita mengenal bermacam-macam jenis pengetahuan (pengetahuan agama,
pengetahuan sehari-hari, pengetahuan ilmiah). Sedangkan pengetahuan ilmiah
merupakan jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode serta
sistematika tertentu. Dengan demikian, cukup jelas bahwa pengetahuan
(knowledge) lebih luas daripada pengetahuan ilmiah (science). Pengetahuan
ilmiah atau ilmu pengetahuan hanya salah satu jenis pengetahuan yang meiliki
ciri-ciri khusus. Thomas Huxley mengemukakan bahwa inti sains tidak lebih akal
sehat yang terlatih dan tertata. Perbedaannya, seperti perbedaan antara seorang
veteran dengan seorang prajurit baru; dan metode ilmiah berbeda dari akal
sehat, seperti perbedaan antara serangan seorang prajurit yang memilii senjata
dan teknologi modern dengan serangan primitive yang bersenjata pentungan
(Calne, 2004:206).
2.1.2
Pengetahuan sehari-hari dan penegetahuan
ilmiah (ilmu pengetahuan)
Perbedaan
Pengetahuan sehari-hari dan penegetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan)
No
|
Faktor Pembeda
|
Pengetahuan sehari-hari
|
Pengetahuan ilmiah
|
1
|
Tujuan
|
Berguna untuk
kehidupan sehari-hari
|
Mengemukakan
kebenaran, memperluas pemahaman/pengetahuan, deskripsi, eksplanasi,
interpretasi, prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, kontrol
|
2
|
Metode
|
Tanpa metode
|
Kualitatif,
Kuantitatif
|
3
|
Bahasa
|
Ambigu/kabur
|
Lugas/tepat,
verifikasi/falsifikasi
|
Pengetahuan
sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan
sehari-hari. Karena itu, diswebut juga dengan pengetahuan eksistensial. Dalam
kehidupan sehari-hari misalnya banyak ditemukan cara pengobatan yang termasuk
pengetahuan eksistensial dan di wariskan secara turun-temurun. Contohnya adalah
berbagai jenis jejamuan yang digunakan oleh masyarakat tradisional tanpa
pembuktian laboratorium (pembuktian ilmiah).
Berbeda
dengan pengetahuan sehari-hari, tujuan ilmu pengetahuan/pengetahuan ilmiah
adalah untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Menjawab pertanyaan
“mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah. Penjelasan (erklaeren atau
eksplanasi) adalah pemaparan yang bersifat kausalita. Misalnya, air jika
dipanaskan pada temperatur 100 derajat Celsius, maka air akan mendidih.
Penjelasan kaussalitas merupakan tujuan ilmu pengetahuan yang terpenting
(terutama pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang
menggunakan metode ilmu pengetahuan alam). Ilmu penetahuan yang menjelaskan
atau berupaya mencari hokum-hukum atam disebut nemotetis. Pada psikologi
behaviorisme, “stimulus-respons” merupakan penjelasan kausalitas terkait
tingkah laku manusia.
Di
samping untuk menjelaskan fenomena alam, tujuan lainnya dari ilmu pengetahuan.
Yaitu, deskripsi/ pemaparan, (3) retrodiksi, (4) prediksi, dan (5) kontrol
(Sudarminta, 2002). Berbeda dengan penjelasan, deskripsi adalah upaya untuk
menjawab pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, dan berapa. Intinya, deskripsi
merupakan bentuk pemaparan atau laporan mengenai suatu peristiwa atau fenomena
sosial-budaya.
Retrodiksi
adalah model pemaparan rekonstruksi tentang masa lalu, yang didasarkan atas
fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Retrodiksi adalah model pemaparan yang
berorientasi ke masa lalu, maka sebaliknya prediksi adalah model pemaparan yang
berorientasi pada masa depan. kontrol adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan
yang berfungsi untuk merekayasa peristiwa atau fenomena alam dengan
data-data/pertimbangan ilmiah.
Disamping
perbedaan tujuan dan metode, pengetahuan sehari-hari menggunakan bahasa
sehari-hari dan ilmu pengetahuan menggunakan bahasa ilmiah. Jika bahasa
sehari-hari digunakan maka tanpa mempertimbangkan ketepatan sehingga bisa
bermakna ganda atau tidak jelas. Bahasa ilmiah digunakan dengan lugas dan jelas
(ketat). Oleh karena itu, dalam bahasa ilmiah, konsep-konsep penting biasanya
dirumuskan dalam bentuk definisi, sehingga ada kesepakatan tentang pengertian/teori
yang digunakan.
Brian
Fay mengemukakan tiga model mengetahui. Yaitu (1) mengetahui berarti “mampu
mengidentifikasi”. (2) “memiliki pengalaman yang sama”. (3) sanggup menguraikan
dan menerangkan. Ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar mengetahui dalam
pengertian yang pertama, akan tetapi lebih pada cara mengetahui model ketiga
yaitu pada taraf menguraikan dan menjelaskan (Fay, 2002: 9).
Hampir
sama dengan Brian Fay, Sony Keraf dan Mikhael
Dua membedakan antara pengetahuan (1) “tahu bahwa”, (2) “tahu bagaimana”,
(3) “tahu akan/mengenai” dan (4) “tahu mengapa”.
Pengetahuan
tahu bahwa adalah jenis pengetahuan informative-teoritis. Seperti “mampu
mengidentifikasi” sesuatu. Misalnya, seseorang tahu bahwa jika logam dipanaskan
akan memuai. Jenis kedua, “pengetahuan tentang bagaimana” biasa disebut sebagai
pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis biasanya juga didasari oleh
pengetahuan teoritis. Selanjutnya “pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman
atau pengenalan pribadi berkaitan dengan objek tertentu (singular). Tingkat
objektivitas pengetahuan yang didasarkan atas
pengalaman sendiri biasanya lebih tinggi dan lebih akurat. Adapun “jenis
pengetahuan tahu mengapa” adalah jenis pengetahuan yang lebih dalam “tahu bahwa”,
lantaran pengetahuan ini tidak berhenti pada informasi, akan tetapi lebih jauh
mengetahui mengapa sesuatu terjadi.
2.1.3
Ciri ilmu pengetahuan
Menurut
Van Melsen mengemukakan ciri-ciri pengetahuan ilmu pengetahuan, adalah sebagai
berikut:
1. Metodis
(memiliki metode, logis dan koheren) sebagai dasar pembenaran teorinya
(justifikasi).
2. Sistematis
3. Universal
(berlaku dimana saja)
4. Objektif/intersubjektif
5. Progresif
(dinamis, teori bersifat tentatif)
6. Dapat
digunakan (ada kaitan antara teori dengan praktik)
7. Tanpa
pamrih (prinsip ilmu demi ilmu)
Beerling
(1986) mengemukakan beberapa ciri ilmu pengetahuan: (1) anggapan bahwa
pengetahuan berlaku umum (universal). (2) ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan
mandiri (otonom) dalam mengembangkan norma-norma ilmiah. (3) memiliki dasar
pembenaran (misalnya: verifikasi, dan falsifikasi). (4) bersifar sistematik.
(5) objektif (intersubjektif).
Robert
Merton, seorang sosiolog (terkait metode ilmiah). Mengemukakan ciri-ciri metode
ilmiah yang diterima secara luas, yaitu (1) “universalisme”, (2) “komunisme,
(3) ketanpa-pamrihan”, (4) “skeptisme” dan (5) “terorganisir”.
Universal
mengacu pada suatu pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui
batas-batas individu, ruang, waktu atau tempat penemuan teori tersebut dan
dapat diterapkan. Komunisme adalah mengumumkan sehingga temuan ilmiah bukan
milik perorangan, organisasi, universitas atau lembaga ilmiah tetapi menjadi
milik bersama.tanpa pamrih berarti mengacu pada pencarian pengetahuan demi
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk keuntungan pribadi. Skeptisisme
dan terorganisir adalah sebagai sikap yang harus dimiliki ilmuan dengan tidak
menerima begitu saja temuan orang lain, tetapi menerimanya dengan kritis dengan
melakukan tes ulang (verifikasi, falsifikasi).
Aspek-aspek
yang menjadi fokus utama dalam bahasan filsafat ilmu pengetahuan diantaranya:
1. Studi
tentang: (a) konsep-konsep, pengandaian serta metodologi ilmu, (b) analisis
konsep-konsep dan bahasa yang digunakan dan (c) ekstensi dan rekonstruksi bagi
aplikasi yang lebih konsisten dan memperoleh ilmu pengetahuan.
2. Studi
dan justifikasi (pembenaran) proses penarikan kesimpulan yang digunakan ilmu
pengetahuan serta struktur simboliknya.
3. Studi
tentang keragaman bidang ilmu serta sifat saling keterkaitannya, persamaan,
perbedaan, serta persoalan paradigmanya.
4. Studi
tentang konsekuensi-konsikuensi pengetahuan ilmiah bagi persepsi kita tentang
realitas, pemahaman tentang fenomena alam, hubungan logika dan matematika
dengan realitas, status entitas-entitas
teoritis, sumber-sumber ilmu pengetahuan dan validitasnya; hubungan ilmu
pengetahuan dengan subjek (ilmuan) serta dengan nilai-nilai (etika, estetika).
Istilah-istilah yang penting dalam
filsafat ilmu pengetahuan
1. Fakta: segala sesuatu yang ada di alam
ini. Sesuatu yang dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat
dibuktikan benar-salahnya secara empiris.
2. Konsep: baha dan simbol untuk
mendeskripsikan fakta atau dunia empiris. Fungsinya: memberikan pemahaman.
Membantu mengenali sifat-sifat fenomena yang menjadi fokus objek kajian, memberikan
sudut pandang, dan membantu mengorganisir gagasan, data dan lain-lain.
3. Definisi konseptual dan operasional:
definisi yang menggunakan konsep-konsep tertentu untuk mendefinisikan konsep
lain.
4. Postulat: berfungsi sebagai
dasar/fondasi dalam ilmu pasti.
5. Asumsi: anggapan dasar yang menjadi
titik tolak penelitian.
6. Hipotesis: prediksi, pernyataan
sementara dalam bentuk fondasi/pengandaian.
7. Teori: penjelasan tentang apa yang
terjadi, atau penjelasan mengapa gejala (proses) tertentu terjadi.
2.2 Empirisme-eksperimen
Kaum empiris adalah mereka yang mengkuduskan
eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan yang mengumumkan dengan sangat bangga
bahwa mereka tidak mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan
eksperimen dan dibuktikan dengan secara empiric. (mereka terus berkata) bahwa
karena posisi teologi ini berkenaan dengan persoalan ghoib diluar batas - batas
indra dan eksperimen, maka kita wajib mengesampingkannya, dan berpaling kepada
kebenaran- kebenaran dan pengetahuan yang dicerap dalam lapangan eksperimen.
Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiria” yang berarti pengalaman inderawi. Karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Seorang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa
pengetahuan di dapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-
hasil penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan, betapapun rumitnya
pengetahuan, dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah
pengetahuan. Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak
lain akibat suatu objek yang merangsang alat- alat inderawi, yang kemudian
dipahami di dalam otak dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah
tanggapan- tanggapan mengenai objek yang merangsanng alat- alat inderawi
tersebut.
Empirisme adalah aliran yang menjadikan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/ penginderaan. Pengalaman
merupaka nfaktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari
pengetahuan manusia. Tanpa adanya rangsangan dan informasi dari indera maka
manusia tidak akan memperoleh pengetahuan apapun, karena inderalah yang
merupakan sumber utama pengetahuan dalam pandangan kaum empiris.
Empirisme merupakan aliran yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan
itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme di ambil dari
bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu
doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Filsafat empirisme tentang teori makna amat
berdekatan dengan aliran positivism logis dan filsafat Ludwig Wittegenstein.
Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris, jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat diindra,
dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama. Penganut empirisme
berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang
jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan
untuk memberikan gambaran tertentu.
Empiris adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan menolak anggapan bahwa
manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme adalah salah satu dari beberapa pandangan yang mendominasi bersaing
dalam studi pengetahuan manusia, yang dikenal sebagai epistemologi. Empirisme menekankan
peran pengalaman dan bukti terutama persepsi sensorik, Empirisme kemudian, dalam filsafat ilmu ,
menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait erat dengan bukti,
terutama seperti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian
mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji
terhadap pengamatan dari alam, bukan hanya intuisi atau wahyu. Namun, kelemahan
dari aliran empirisme adalah :
·
Indera
menipu
·
Indera
terbatas
·
Objek dan
indera menipu
2.2.2 Eksperimen
Eksperimen atau percobaan telah menjadi
subyek perdebatan di kalangan sejarawan ilmu pengetahuan modern.
Pandangan yang diterima adalah eksperimen yang muncul pada abad 17 sebagai
bagian dari era diskontinuitas radikal dalam metode dan praktek-praktek
menyelidiki alam. Di antara para filsuf alam yang mengembangkan dan
mempraktekkan percobaan, beberapa yang paling terkenal adalah Francis Bacon
(1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Robert Boyle (1627-1691), dan Isaac
Newton (1642-1727). Eksperimen
meruapakan metode untuk perolehan pengetahuan alam.
Kelompok empiris meyakini bahwa pengetahuan ilmiah yang baru adalah
hasil observasi dan pengukuran yang teliti dari para ilmuwan terhadap fenomena,
serta kesediaan mereka untuk melakukan eksperimen guna memastikan hubungan
matematis yang tepat yang mungkin ada diantaranya. Bagi kalangan empiris,
eksperimenlah yang menjamin pengetahuan, bukan bukti matematis.
Tokoh-tokoh empirisme lainnya antara lain
Francis Bacon (1561-1626), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Francis Bacon telah
meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan
dilakukan dengan metode induksi. Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sesungguhnya adalah
pengetahuan yang telah diterima orang terhadap kebenarannya melalui persentuhan
indera dengan dunia nyata.Menurutnya ilmu akan
berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta
sebagai hasil eksperimen
2.2.3 Tokoh
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada
tahun 1558 M. I adalah putra dari pastor yang membangkang dan suka berdebat.
Keluarganya terpaksa keluar dari daerahnya akibat situasi yang kurang
mendukung. Thomas Hobbes adalah sosok yangh cerdas, terbukti pada umur 6 tahun
sudah menguasai bahasa Yunani dan Latin dengan amat baik dan pada umur 15 tahun
sudah belajar di Oxford University.
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran
empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti
dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran.
Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme
secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia
menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia
telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang
konsekuen pada zaman modern.
Menurut
Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang
benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala
gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang
ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya
sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab
akibat termasuk situasi kesadaran kita
Hobbes
memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis
semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya,
pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau
digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul
reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Hobbes
menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya
ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide
tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan.
Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja
dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau
identitas-identitas di dalam pikiran orang.
John Locke lahir di Inggris pada
tanggal 29 Agustus 1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia di
sebut filsuf inggris dengan pandangan empirisme. Locke sering di sebut
sebagai tokoh yang membrerikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori
yang sangat penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa
itu pada saat mula- mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah
tabula rasa.
Fokus filsafat Locke adalah
antitesis pemikiran Descrates. Baginya, pemikiran Descrates mengenai akal budi
kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai akal budi dan spekulasi abstrak, kita
seharus menaruh perhatian dan kepercayaan kepada pengalaman dalam menangkap
fenomena alam melalui panca indra. Ia hadir secara apeteriori. Pengenalan
manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya melalui mencium, merasa,
mengecap, dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan- gagasan dan
pikiran sederhana.
Yang membedakan Locke dengan
lainnya adalah karakter pemikirannya yang empiris di bangun atas dasar tunggal
dan serbaguna. Semua pengalaman (pengetahuan), kata Locke, berawal dari
pengalaman. Pengalaman memberi kita sensasi- sensasi. Dari sensasi ini kite
memperoleh berbagai macam ide baru yang lebih kompleks. Dan pikiran kita
terpengaruh oleh perasaan refleksi. Kendati Locke berbeda pandangan dengan
filsuf lain, namun Locke juga menerima metafora sentral Cartesian, pembedaan
antara pikiran dan tubuh. Terbukti, dia memandang bahwa pengetahuan pertama-
tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.
Selain itu, Locke membedakan antara
apa yang dinamakannya “kualitas primer” dan “kualitas skunder”. Yang dimaksud
dengan kualitas primer adalah luas, berat,Yang dimaksud dengan kualitas primer
adalah luas, berat, gerakan, jumlah dan sebagainya. Jika sampai pada masalah
kualitas seperti ini, kita dapat merasa yakin bahwa indra- indra menirunya
secara objektif. Tapi kita juga akan merasakan kualitas- kualitas lain dalam
benda – benda. Kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu manis atau pahit, hijau
atau merah. Locke menyebut ini sebagai kualitas skunder. Penginderaan semacam
ini tidak meniru kualitas- kualitas sejati yang melekat pada benda- benda itu
sendiri.
Proyek epistemologis Locke mencapai
puncaknya dalam positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap
positivisme terutama adalah prinsip objektivitas ilmu pengetahuan.
Empirisme memiliki keyakinan bahwa semesta adalah sesuatu yang hadir melalui
data indrawi. Karenanya pengetahuan harus berumber pengalaman dan pengamatan
empirik.
David Hume lahir pada tahun 1711
dan wafat pada tahun 1776 . Hume adalah pelopor para empiris, yang percaya
bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indra. Menurutnya, ada
batasan- batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil
melalui persepsi indra. David Hume lah aliran empirisme memuncak . empirisme
mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih
pengalman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengetahuan itu dapat bersifat
lahiriah dan dapat pula bersifat batiniyah. Oleh karena itu
pengenalan inderawi meruakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal yang dicermati oleh Hume
adalah substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang
dialami manusia hanya kesan- kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada
bersama- sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan
langsung atas realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-
kesan.
--Ibn al-Haytham (965-1040 M)
Bila orang-orang Eropa dari masa modern masih saja berpandangan
bahwa orang Inggris Roger Bacon (1214-1296) dan orang Prancis Francis Bacon
(1561–1626) yang memprakarsai metode eksperimental dalam penelitian
ilmiah, mereka semestinya menengok apa yang telah dilakukan oleh Hasan ibn
al-Haytham beberapa abad lebih awal. Catatan detail mengenai penerapan metode
eksperimental ini tertuang dalam karya penting ibn al-Haytham, yakni Kitab al-Manazir atau Buku Optik.
Karya yang terbit pada 1021, dan kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin ke Eropa, ini memuat telaah ibn al-Haytham yang luas dan dalam
mengenai cahaya—teorinya tentang refleksi dan refraksi cahaya juga mendahului
Snellius. Telaah ibn al-Haytham bertumpu pada perpaduan antara observasi, eksperimen,
perhitungan matematis, maupun argumen rasional.
Sebelum menjelaskan pandangannya tentang topik tertentu, ibn
al-Haytham lebih dulu menjelaskan metode eksperimennya. Sebagai ilmuwan, ibn
al-Haytham tidak mau mengambil jalan ‘eksperimentasi dalam pikiran’. Ia
betul-betul menguji hipotesisnya dengan mengadakan eksperimen praktis terlebih
dulu. Dari hasil eksperimen ini, ibn al-Haytham mengambil kesimpulan untuk
menolak atau menerima hipotesis yang ia ajukan. Salah satu eksperimennya
melahirkan teori tentang pergerakan cahaya dan camera obscura yang menjadi dasar pembuatan
kamera.
Menarik bahwa al-Haytham tidak berhenti sampai di situ. Untuk
mendukung kesimpulan dari hasil eksperimennya, ia mengajukan argumen-argumen
rasional. Ia juga menopangnya dengan pendekatan matematis, yang menjadikan
pandangannya secara ilmiah berdiri di atas landasan yang kokoh. Ibn al-Haytham
menolak teori emisi kuno perihal penglihatan yang didukung oleh orang Yunani,
Ptolemius dan Euclidus, yang menyebutkan bahwa mata manusia memancarkan berkas
cahaya sehingga mampu melihat benda-benda. Ia juga menolak teori intromisi kuno
dari orang Yunani lainnya, Aristoteles, bahwa obyek memancarkan
partikel-partikel fisik ke mata sehingga manusia dapat melihat. Ibn al-Haytham
mengajukan pandangannya sendiri bahwa manusia bisa melihat benda, sebab benda
memantulkan cahaya yang berasal dari sumber lain.
Cara Ibn al-Haytham memadukan observasi dan argumen-argumen rasional
memberi pengaruh besar terhadap Roger Bacon dan Johannes Kepler. Bacon (1214-1296),
yang belajar di bawah bimbingan Grosseteste, terilhami oleh tulisan-tulisan Ibn
al-Haytham. Ilmuwan Barat sesudah Bacon mengenal nama ini sebagai perintis
metode eksperimental, padahal sebelum Bacon—maupun Francis Bacon—sudah ada Ibn
al-Haytham.
Ibn al-Haytham mengembangkan metode eksperimental ketat. Metode
ilmiah ibn al-Haytham sangat mirip dengan metode ilmiah modern dan mencakup
siklus berulang observasi, hipotesis, eksperimentasi, dan verifikasi
independen.
Dalam karyanya, Ibn
al-Haytham: First Scientist, Bradley Steffen berpendapat bahwa pendekatan
Alhazen—nama Latin Ibn al-Haytham—terhadap pengujian dan eksperimentasi
membuahkan kontribusi penting bagi metode ilmiah. Matthias Schramm juga
menyebutkan bahwa Alhazen merupakan orang pertama yang menciptakan penggunaan
sistematis metode kondisi eksperimental yang beragam dengan cara yang konstan
dan seragam. Inilah pengakuan yang akhir-akhir ini mengembalikan ibn al-Haytham
pada posisinya sebagai perintis metode empiris dalam sains.
Sarjana lain, Gorini, menulis tentang peran Ibn al-Haytham: “Menurut
mayoritas sejarawan, al-Haytham adalah pionir metode ilmiah modern. Dengan
bukunya, ia mengubah makna pengertian ‘optik’, dan menjadikan eksperimen
sebagai norma pembuktian dalam bidang ini. Penyelidikannya didasarkan bukan
pada teori-teori abstrak, melainkan pada bukti-bukti eksperimental.
Eksperimennya sistematis dan dapat diulangi (repeatable).”
Metode empiris ibn al-Haytham merevolusi pemikiran dan cara kerja
ilmuwan dalam menemukan kebenaran ilmiah pada zamannya dan kemudian memengaruhi
kemajuan sains di Eropa dan belahan bumi lainnya
2.3. Rekonstruksionisme
2.3.1 Pengertian dan Ide Gagasan
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh
George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Mereka bermaksud membangun
masyarakat baru yaitu masyarakat yang dipandang pantas dan adil. Dalam pidato
provokatifnya, Count berpendapat bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan
sosial baru dan juga mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik
agar mengorganisasi diri dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Sehingga
sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif.
Aliran rekonstruksionisme bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen
perubahan sosial melalui pendidikan. Hal tersebut merupakan sebuah kebalikan
dari peran tradisional sekolah karena pada zaman dahulu ada anggapan bahwa
pendidikan akan menjauhkan diri dari masyarakat.
Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi
oleh pemikiran progresif Dewey dan ini menjelaskan mengapa aliran
rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatisme. Rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme, gerakan ini lahir didasarkan
atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Pada
rekonstruksionisme, peradaban manusia di masa depan sangat ditekankan.
Disamping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir
kritis, dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berpikir
kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu. Penganut aliran ini
menekankan pada hasil belajar daripada proses.
Rekonstruksionisme memang merupakan kelanjutan
dari aliran progresivisme, dan memiliki berbagai persamaan. Kedua aliran
tersebut melekatkan kepentingan pokoknya pada pengalaman yang dimiliki.
Misalnya, karya Pratt (1948) mengilustrasikan kesatuan rekonstruksionisme dan
progresivisme. Pada bukunya, “I Learn From Children”, beliau menyatakan bahwa
Sekolah Kota dan Kampung yang didirikan di kota New York pada tahun 1914
berusaha mencocokkan sekolah dengan anak, bukan sebaliknya menyesuaikan anak
dengan sekolah. Sehingga kelas pun bercirikan dengan interaksi antara guru
dengan para siswanya. Perbedaan rekonstruksionisme dan progresivisme adalah
jika progresivisme adalah pemecah persoalan (problem-solver) yang baik dan
bergerak sebagai promosi perubahan yang berguna bagi pribadi dan masyarakat.
Intinya, dalam progresivisme, belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam
aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. Sedangkan, rekonstruksionisme
juga sebagai pemecah perssoalan tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian
masalah sosial yang signifikan. Sehingga prinsip rekonstruksionisme adalah
menciptakan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul di
masa yang akan datang.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa
kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan
yang terganggu, sakit, penuh kebingungan, seta kesimpangsiuran proses.
Sehingga, menurut pandangan rekonstruksionisme, perlunya merombak tata susunan
lama dan membangan tata susunan hidup kebudayaan yang baru dan untuk mencapai
tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa
tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa. Aliran
ini mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang
diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai
oleh golongan tertentu. Sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan
potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan,
dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,
keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan). Singkatnya dapat dikemukakan
bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia
dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman dan subordinate dari kedaulatan dan otoritas internasional.
Para rekonstruksionis berpendapat bahwa
pendekatan mereka merupakan permulaan yang radikal bagi aliran filsafat
pragmatisme. Filsafat rekonstruksionisme telah memberikan pandangan tentang
sebuah dunia yang sempurna dan memberikan alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal ini mungkin kelemahan dari filsafat yang lain karena tidak mempunyai tujuan
pada masa yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perhatian
terhadap nilai sosial, keadilan pada manusia, komunitas manusia, keamanan
dunia, keadilan ekonomi, persamaan kesempatan, kebebasan dan demokrasi
merupakan tujuan dari filsafat rekonstruksionisme.
2.3.2 Latar Belakang
Sejarah Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme sebagai aliran pendidikan
sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya karya John Dewey yang
berjudul Reconstruktion in Philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata
oleh George Count dan selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana
rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun telah pula diformulasikan oleh George S. Count
dalam sebuah karya klasiknya “Dare The School Build a New Social Order” yang
diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran
Perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Singkatnya,
perenialisme adalah aliran yang menawarkan solusi jalan mundur ke belakang
dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kuat pada zaman kuno dan pertengahan, untuk mengatasi
situasi dunia saat ini. Menurut aliran rekonstruksionisme maupun perenialisme,
keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Rekonstruksionisme berupaya membina suatu
konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia.
Plato adalah salah satu tokoh dari aliran
rekonstruksionisme. Dia membuat sebuah garis besar tentang perencanaan bagi
kondisi dimana pendidikan akan menjadi sebuah bahan untuk membentuk masyarakat
baru dan lebih baik. Plato yakin bahwa kondisi tersebut sangat diinginkan oleh
masyarakat. Walaupun usaha Plato untuk mewujudkan masyarakat seperti itu gagal,
tetapi dia telah maju selangkah pada masanya.
Jika merenungkan pemikiran Plato sampai dengan
Skinner, dapat diketahui bahwa mereka merekomendasikan pendidikan sebagai alat
utama bagi perubahan sosial. Di Amerika Serikat, sejumlah orang memandang
pendidikan sebagai alat bagi reformasi sosial. Salah satu tokohnya, yaitu John
Dewey, yang memandang pendidikan sebagai alat bagi perubahan baik kemanusiaan
dan sosial. Aliran filsafat pragmatisme yang menjadi dasar pemikiran Dewey
dihubungkan dengan penolakan hal-hal yang absolut dan menerima hal-hal yang
bersifat relatif saja.
Tokoh lainnya yaitu Theodore Brameld, yakni
seorang filsuf dan juga pendidik yang menerapkan ide penelitian
rekonstruksionismenya kedalam pengajaran di Floodwood high School di Minnesota.
Dalam proyek tersebut, dia bekerja dengan administrator untuk mengembangkan
program pendidikan bagi junior dan senior yang melibatkan penggunaan berpikir
kritis dalam proses belajar. Dia mencoba meyakinkan pada siswa dan guru bahwa
isu-isu kontroversial harus memainkan peranan besar dalam pendidikan. Brameld
merupakan penulis selusin buku yang
berkaitan dengan filosofi rekonstruksionisme.
2.3.3 Tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Theodore
Burghard Hurt Brameld
(1904-1987) adalah seorang filsuf pendidikan terkemuka abad ke-20 . Sebagai seorang
pendidik Amerika dan filsuf pendidikan , Brameld terkenal sebagai pendiri
Rekonstruksionisme Sosial . Dalam reaksi terhadap
realitas Perang Dunia II , Brameld mengakui bahwa potensi pemusnahan manusia adalah melalui
teknologi dan kekejaman manusia. Namun, kapasitas untuk menciptakan masyarakat dermawan adalah menggunakan teknologi dan kasih sayang manusia.
Pada tahun 1930, Brameld tertarik pada kelompok aktivis sosial di Teachers College, Columbia University, termasuk didalamnya George Counts, Harold Rugg, Merle Curti, dan William Heard Kilpatrick. Namun, diantara yang lainnya George Counts yang paling mempengaruhi pemikiran Brameld.. Menulis di The Social Frontier, sebuah jurnal kritik pendidikan dan politik, Brameld berpendapat bahwa filsafat radikal berfokus pada analisis kelemahan dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan analisis ini lahir cetak biru yang konstruktif untuk tatanan sosial baru yang menantang ketidakadilan sosial seperti prasangka, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi. Isu-isu ini dibahas dalam Minority Problems in Public School yang diterbitkan pada tahun 1945.
Brameld menganggap bahwa demokrasi adalah inti dari filsafat pendidikan nya. Pada tahun 1950, ia menegaskan dalam Ends and Means in Education: A Midcentury Appraisal bahwa pendidikan diperlukan perspektif rekonstruksi dan menyarankan Rekonstruksionisme sebagai label yang tepat untuk membedakan filosofi ini. Banyak ide-ide Brameld tumbuh dari pengalamannya dalam menerapkan keyakinan filosofis untuk pengaturan sekolah di Floodwood, Minnesota, disana ia bekerja dengan siswa dan guru untuk mengembangkan tujuan demokrasi. Brameld bersikeras bahwa isu-isu kontroversial dan masalah seharusnya memainkan peran sentral dalam pendidikan, dan menganggap tidak ada masalah di luar batas untuk diskusi dan analisis kritis.
George Counts adalah seorang tokoh aliran
rekonstruksionisme, yang masuk sekolah pascasarjana di University of Chicago
pada tahun 1913. George Counts menyelesaikan gelar doctor di bidang pendidikan
pada tahun 1916 dan juga belajar sosiologi di bawah arahan Albion W. Small.
Pengalamannya dalam sosiologi membuatnya berkonsentrasi pada dimensi sosiologis
dalam penelitian pendidikan. Hasil karya Counts berupa tulisan berjudul
“Prinsip Pendidikan” yang ditulisnya bersama dengan J. Crosby Chapman. Counts
ingin agar para pendidik atau guru untuk memimpin masyarakat, bukan mengikuti
masyarakat. Para guru adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa
memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Selain itu,
guru juga harus peduli dengan masalah kontroversial dalam bidang ekonomi,
politik, dan moralitas.
Tokoh aliran rekonstruksionisme yang kedua
adalah Harold Rugg. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu pendidik yang
paling serbaguna terkait dengan gerakan pendidikan progresif. Rugg adalah
pelopor yang menggunakan kurikulum sekolah sebagai alat untuk merekonstruksi
perilaku masyarakat untuk menciptakan keadilan sosial.
Tokoh ketiga dalam aliran rekonstruksionisme
adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang
inovatif, yang mengungkapkan ide-ide tentang sesuatu yang dapat memberikan
anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka. Pratt mengembangkan metode
belajar anak yang berfokus pada bermain karena menurutnya aktivitas bermain
anak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kontribusi Pratt terlihat
dengan berkembangngnya “Play School” atau sekarang lebih dikenal dengan nama
Playground.
2.3.4 Prinsip –
Prinsip Pemikiran
Pada prinsipnya, aliran ini memandang alam
metafisika dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat,
jasmani dan rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan
bersifat mandiri, abadi, dan hubungan antara keduanya menciptakan suatu
kehidupan alam. Rene Descarter menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit
menerima prinsip dualisme ini yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat
segera ditanggap oleh panca indra manusia, sementara kenyataan batin segera
diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa
realita itu bersifat universal, realita itu ada dimana saja di setiap sempat.
Untuk memahami suatu realita, dimulai dari sesuatu yang konkrit menuju hal yang
khusus yang menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di
hadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia. Misalnya, hewan,
tumbuh-tumbuhan atau benda-benda lain di sekeliling kita. Realita tidak
terlepas dari suatu sistem di samping substansi yang dimiliki bagi tiap-tiap
benda tersebut yang dipilih melalui akal pikiran. Rekonstruksionisme memiliki
dasar-dasar pemikiran, sebagai berikut :
·
Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis
yang sedang dialami dunia saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang
kependudukan, kesenjangan distribusi kekayaan, rasisme, sumber daya alam yang
terbatas, dan penggunaan teknologi yang tidak bertanggungjawab. Jika
praktik-praktik tersebut tidak dikoreksi atau tidak diubah diubah secara
mendasar maka peradaban akan mengalami kehancuran. Menurut pandangan
rekonstruksionis, persoalan muncul karena hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
dalam masyarakat luas .
Dalam
usahanya untuk menerapkan rekonstruksionisme, di negara-negara barat
bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan perpaduan antara ajaran Kristen dan
demokrasi modern dengan tekonologi modern, dan seni modern dalam suatu
kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan dunia dalam mengontrol
umat manusia. Tujuannya yakni mencita-citakan terwujudnya suatu dunia harus
dengan suatu kebudayaan baru dari satu kedaulatan dunia dalam mengontrol umat
manusia
·
Perlunya penciptaan tatanan sosial yang
menyeluruh sebagai solusi permasalahan di dunia
Aliran
rekonstruksionisme percaya bahwa tujuan utama dan tertinggi adalah kerjasama
semua bangsa. Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari
bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Kerjasama menyeluruh
semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang
terus yang menghuni dunia ini dengan keterbatasan sumber daya alamnya. Hari
depan bangsa-bangsa adalah sebuah dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat
secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai suatu golongan. Cita-cita
demokrasi ini bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan karena
hanya dengan cara demikian dapat diwujudkan sebuah dunia dengan potensi-potensi
teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, keamanan dan
jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membeda-bedakan warna kulit, nasionalitas,
dan kepercayaan.
·
Pendidikan formal dapat menjadi agen utama
dalam rekonstruksi tatanan sosial
Brameld
dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan
guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai instrumen utama perubahan
sosial. Berdasarkan perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk
mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial atau membentuk keyakinan
masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan. Pendidikan harus
memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan di dunia dan mendorong
secara aktif untuk memberikan solusi. Kajian dan diskusi kritis akan membantu
peserta didik melihat tidak berfungsinya bebrapa aspek sekarang ini dan
membantu mereka mengembangkan alternatif bagi kebijakan konvensional.
2.3.5 Tujuan
Penerapan Aliran Rekonstruksionis
Rekonstruksionisme berusaha mencari
kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu tatanan yang baru di seluruh lingkungannya.
Rekonstruksionisme ini juga ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan
Pada dasarnya, aliran rekonstruksionisme
menekankan pada kebutuhan untuk perubahan, yaitu perubahan sosial dan tindakan
sosial. Pemikiran untuk mengembangkan perubahan didasarkan atas pemikiran bahwa
individu dan masyarakat akan dapat membuat suatu perubahan yang lebih baik.
Mungkin seseorang memandang dan membandingkan ide ini dengan sejenis
perkembangan evolusioner yang dikenal dengan aliran Hegel yang dihubungkan
dengan pemikiran Dewey yaitu kita dapat membantu dalam proses perpindahan suatu
hal dari kondisi, yang kurang diinginkan ke kondisi yang diinginkan. Namun,
dalam aliran rekonstruksionisme, akan melibatkan lebih banyak masyarakat sebagai
agen perubahan untuk mengubah diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka.
Aliran rekonstruksionisme menolak filsafat yang abstrak dimana penekanannya
lebih kepada “tahu” dibandingkan “melakukan”.
BAB
III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pengetahuan
adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, dan pemahaman yang dimiliki manusia
tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sebelum
filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang, lebih dulu berkembang mitos dan
pengetahuan pra-ilmiah sebagai jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi
manusia. Sedangkan pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang memiliki
ciri-ciri dan metode serta sistematika tertentu.
Empirisme adalah suatu
aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal
berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang
digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang
metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Empirisme barawal dari Plato hingga John Locke.
Diantara tokoh- tokohnya adalah Davide Hume, Thomas Hobbes, dll. Empirisme
memiliki banyak pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah
dalam pengemangan berpikir induktif, tradisi empirisme adalah fundamen yang
mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks
perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam, dll.
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori
tentang pengetahuan. Teori makna
pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal
pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep dan teori
pengetahuan.
Rekonstruksionisme
berasal dari kata reconstruct yang
berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
3.2 Saran
Saran penulis adalah sebaiknya menambah sumber baca
buku untuk melengkapi pengetahuan mengenai kesatuan ilmu pengetahuan,
empirisme-eksperimen, dan rekonstruksionalisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari masa Klasik Hingga Potmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) hlm.357.
Baggini, Julian., Lima Tema Utama Filsafat;
Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat
Politi, New
York: Palgrave MacMillan, 2002.
Bakker, Anton. dan Zubari, Achmad
Charis., (1990). Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisisus.
Donny
Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai
Thomas Khun, (Jakarta: Teraju, 2002) hlm. 49
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 11
Henry
J. Schmad, Filsafat Politik: Kajian Toeri Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 309
Jalaluddin & Abdullah. 2010.
Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Lubis, A. Y. (2015). Filsafat ilmu: klasik hingga kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu:
Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme. Yogyakarta : Rakesarasin.
Muhammad Baqir Ash- Shadr, Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1994) hlm. 237
Robert
C. Solomon & Kathleen M. Higgins 2002. A Short History of Philosophy,
terjemahan. Yogyakarta: Bentang Budaya hlm. 386- 387
Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung:
Alfabeta, 2003), hlm 32.