Selasa, 17 Mei 2016

Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme
1. Pengertian dan Ide Gagasan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Filsafat pendidikan modern pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme. Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme, gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Pada rekonstruksionisme, peradaban manusia di masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir kritis, dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berpikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu. Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar daripada proses.
Rekonstruksionisme memang merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme, dan memiliki berbagai persamaan. Kedua aliran tersebut melekatkan kepentingan pokoknya pada pengalaman yang dimiliki. Misalnya, karya Pratt (1948) mengilustrasikan kesatuan rekonstruksionisme dan progresivisme. Pada bukunya, “I Learn From Children”, beliau menyatakan bahwa Sekolah Kota dan Kampung yang didirikan di kota New York pada tahun 1914 berusaha mencocokkan sekolah dengan anak, bukan sebaliknya menyesuaikan anak dengan sekolah. Sehingga kelas pun bercirikan dengan interaksi antara guru dengan para siswanya. Perbedaan rekonstruksionisme dan progresivisme adalah jika progresivisme adalah pemecah persoalan (problem-solver) yang baik dan bergerak sebagai promosi perubahan yang berguna bagi pribadi dan masyarakat. Intinya, dalam progresivisme, belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. Sedangkan, rekonstruksionisme juga sebagai pemecah perssoalan tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian masalah sosial yang signifikan. Sehingga prinsip rekonstruksionisme adalah menciptakan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul di masa yang akan datang.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan yang terganggu, sakit, penuh kebingungan, seta kesimpangsiuran proses. Sehingga, menurut pandangan rekonstruksionisme, perlunya merombak tata susunan lama dan membangan tata susunan hidup kebudayaan yang baru dan untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa. Aliran ini mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan). Singkatnya dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman dan subordinate dari kedaulatan dan otoritas internasional.
Para rekonstruksionis berpendapat bahwa pendekatan mereka merupakan permulaan yang radikal bagi aliran filsafat pragmatisme. Filsafat rekonstruksionisme telah memberikan pandangan tentang sebuah dunia yang sempurna dan memberikan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini mungkin kelemahan dari filsafat yang lain karena tidak mempunyai tujuan pada masa yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perhatian terhadap nilai sosial, keadilan pada manusia, komunitas manusia, keamanan dunia, keadilan ekonomi, persamaan kesempatan, kebebasan dan demokrasi merupakan tujuan dari filsafat rekonstruksionisme.

2. Latar Belakang Sejarah Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya karya John Dewey yang berjudul Reconstruktion in Philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George Count dan selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun telah  pula diformulasikan oleh George S. Count dalam sebuah karya klasiknya “Dare The School Build a New Social Order” yang diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran Perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Singkatnya, perenialisme adalah aliran yang menawarkan solusi jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman kuno dan pertengahan, untuk mengatasi situasi dunia saat ini. Menurut aliran rekonstruksionisme maupun perenialisme, keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Plato adalah salah satu tokoh dari aliran rekonstruksionisme. Dia membuat sebuah garis besar tentang perencanaan bagi kondisi dimana pendidikan akan menjadi sebuah bahan untuk membentuk masyarakat baru dan lebih baik. Plato yakin bahwa kondisi tersebut sangat diinginkan oleh masyarakat. Walaupun usaha Plato untuk mewujudkan masyarakat seperti itu gagal, tetapi dia telah maju selangkah pada masanya.
Jika merenungkan pemikiran Plato sampai dengan Skinner, dapat diketahui bahwa mereka merekomendasikan pendidikan sebagai alat utama bagi perubahan sosial. Di Amerika Serikat, sejumlah orang memandang pendidikan sebagai alat bagi reformasi sosial. Salah satu tokohnya, yaitu John Dewey, yang memandang pendidikan sebagai alat bagi perubahan baik kemanusiaan dan sosial. Aliran filsafat pragmatisme yang menjadi dasar pemikiran Dewey dihubungkan dengan penolakan hal-hal yang absolut dan menerima hal-hal yang bersifat relatif saja.
Tokoh lainnya yaitu Theodore Brameld, yakni seorang filsuf dan juga pendidik yang menerapkan ide penelitian rekonstruksionismenya kedalam pengajaran di Floodwood high School di Minnesota. Dalam proyek tersebut, dia bekerja dengan administrator untuk mengembangkan program pendidikan bagi junior dan senior yang melibatkan penggunaan berpikir kritis dalam proses belajar. Dia mencoba meyakinkan pada siswa dan guru bahwa isu-isu kontroversial harus memainkan peranan besar dalam pendidikan. Brameld merupakan penulis  selusin buku yang berkaitan dengan filosofi rekonstruksionisme.

2.3.3  Tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Theodore B. H. Brameld
Theodore Burghard Hurt Brameld (1904-1987) adalah seorang filsuf pendidikan terkemuka abad ke-20 . Sebagai seorang pendidik Amerika dan filsuf pendidikan , Brameld terkenal sebagai pendiri Rekonstruksionisme Sosial . Dalam reaksi terhadap realitas Perang Dunia II , Brameld mengakui bahwa potensi pemusnahan manusia adalah melalui teknologi dan kekejaman manusia. Namun, kapasitas untuk menciptakan masyarakat dermawan adalah  menggunakan teknologi dan kasih sayang manusia.
Pada tahun 1930, Brameld tertarik pada kelompok aktivis sosial  di Teachers College, Columbia University, termasuk didalamnya George Counts, Harold Rugg, Merle Curti, dan William Heard Kilpatrick. Namun, diantara yang lainnya George Counts yang paling mempengaruhi pemikiran Brameld.. Menulis di The Social Frontier, sebuah jurnal kritik pendidikan dan politik, Brameld berpendapat bahwa filsafat radikal berfokus pada analisis kelemahan dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan analisis ini lahir cetak biru yang konstruktif untuk tatanan sosial baru yang menantang ketidakadilan sosial seperti prasangka, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi. Isu-isu ini dibahas dalam Minority Problems in Public School yang diterbitkan pada tahun 1945.
Brameld menganggap bahwa demokrasi adalah inti dari filsafat pendidikannya. Pada tahun 1950, ia menegaskan dalam Ends and Means in Education: A Midcentury Appraisal bahwa pendidikan diperlukan perspektif rekonstruksi dan menyarankan Rekonstruksionisme sebagai label yang tepat untuk membedakan filosofi ini. Banyak ide-ide Brameld tumbuh dari pengalamannya dalam  menerapkan keyakinan filosofis untuk pengaturan sekolah di Floodwood, Minnesota, disana ia bekerja dengan siswa dan guru untuk mengembangkan tujuan demokrasi. Brameld bersikeras bahwa isu-isu kontroversial dan masalah seharusnya memainkan peran sentral dalam pendidikan, dan menganggap tidak ada masalah di luar batas untuk diskusi dan analisis kritis.
George Counts
George Sylvester Count adalah putra dari James Wilson Count dan Mertie Florella (Gamble) Count. Ia lahir di sebuah pertanian dekat Baldwin City, Kansas pada tanggal 9 Desember 1889 dan wafat 1974. George S. Count merupakan seorang tokoh utama dalam pendidikan dan berpengaruh terhadap teori pendidikan di Amerika selama hampir lima puluh tahun. Sebagai seorang pendukung awal pendidikan progresif gerakan John Dewey yang pragmatis, George S. Count menjadi kritikus terkemuka dalam pemikiran Rekonstruktivisme dan Pendidikan.
Pendidik progresif, sosiolog, dan aktivis politik, George S.Count menantang guru dan pendidik guru untuk menggunakan sekolah sebagai sarana untuk mengkritisi dan mengubah tatanan sosial. Karya paling dikenal karena pamflet kontroversial Count berjudul Dare the School Build a New Social Order? , Publikasi ini awal (1932) karya menarik perhatian khusus untuk peran Counts sebagai aktivis sosial dan politik. Tiga tema tertentu membuat buku itu penting karena pentingnya mereka dalam rencana Counts untuk perubahan serta untuk melanjutkan kepentingan kontemporer mereka: (1) mengkritik hitungan progresif yang berpusat pada anak (2)  menugaskan guru dalam mencapai reformasi pendidikan dan sosial dan (3) ide untuk reformasi ekonomi Amerika. Filsafat pendidikan Count itu juga hasil dari filsafat John Dewey. Kedua orang tersebut percaya pada potensi yang besar dari pendidikan untuk meningkatkan masyarakat dan sekolah harus mencerminkan kehidupan daripada diisolasi dari luar. Tapi tidak seperti dalam karya berjudul Dewey’s Public and Its Problems , banyak tulisan Counts yang menunjukkan rencana aksi dalam penggunaan sekolah untuk tatanan sosial yang baru.
Analisis Counts menitikberatkan pada teori keterlambatan budaya. Keterlambatan budaya terjadi ketika keahlian praktis manusia mendahului kesadaran moral dan organisasi sosialnya. Krisis dalam pengaturan kelembagaan dari seluruh ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri antara ide-ide warisan dan adat istiadat di satu sisi dan bahan-inovasi teknologi di sisi lain. Counts menyatakan, masalah penting pendidikan adalah kebutuhan untuk merumuskan suatu filsafat pendidikan yang dapat mempersiapkan pendidik untuk menghadapi krisis keterlambatan sosial dan budaya dengan ide-ide rekonstruksi, keyakinan, dan nilai-nilai dalam kaitannya dengan perubahan kondisi.
Dalam pidato provokatifnya, Count berpendapat bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan sosial baru dan juga mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik agar mengorganisasi diri dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Sehingga sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Aliran rekonstruksionisme bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan sosial melalui pendidikan. Hal tersebut merupakan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah karena pada zaman dahulu ada anggapan bahwa pendidikan akan menjauhkan diri dari masyarakat. Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey dan ini menjelaskan mengapa aliran rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatisme.

Harold Rugg
Tokoh aliran rekonstruksionisme yang kedua adalah Harold Rugg. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu pendidik yang paling serbaguna terkait dengan gerakan pendidikan progresif. Rugg adalah pelopor yang menggunakan kurikulum sekolah sebagai alat untuk merekonstruksi perilaku masyarakat untuk menciptakan keadilan sosial.
Pada tahun 1928, Rugg menulis karya besar pertamanya, The Child-Centered School , yang menjelaskan dasar sejarah dan kontemporer untuk pendidikan yang " berpusat pada anak ". Karya ini memiliki dampak besar pada pendidik progresif dan tetap merupakan penjelasan yang sangat baik dan juga meninggalkan kritik pada topik ini . Ini juga merupakan salah satu risalah pertama pada dua penekanan utama dalam pemusatan pendidikan pada anak dan rekonstruksi sosial. Rugg berpendapat bahwa kurikulum sekolah dapat menghambat pergerakan anak atau ekspresi diri anak. Sehingga pendekatan ilmiah Rugg untuk pengembangan kurikulum dengan memasukkan  'ilmu sosial baru', sebuah program pendidikan terpadu berfokus pada masalah-masalah kehidupan modern .
Caroline Pratt
Tokoh ketiga dalam aliran rekonstruksionisme adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang inovatif, yang mengungkapkan ide-ide tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka. Pratt mengembangkan metode belajar anak yang berfokus pada bermain karena menurutnya aktivitas bermain anak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kontribusi Pratt terlihat dengan berkembangnya “Play School” atau sekarang lebih dikenal dengan nama Playground, dan juga orang pertama yang mendesain dan mengembangkan permainan wooden unit blocks bagi anak-anak pada tahun 1913.

2.3.4 Prinsip – Prinsip Pemikiran
Pada prinsipnya, aliran ini memandang alam metafisika dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat, jasmani dan rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan bersifat mandiri, abadi, dan hubungan antara keduanya menciptakan suatu kehidupan alam. Rene Descarter menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima prinsip dualisme ini yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditanggap oleh panca indra manusia, sementara kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, realita itu ada dimana saja di setiap sempat. Untuk memahami suatu realita, dimulai dari sesuatu yang konkrit menuju hal yang khusus yang menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia. Misalnya, hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda-benda lain di sekeliling kita. Realita tidak terlepas dari suatu sistem di samping substansi yang dimiliki bagi tiap-tiap benda tersebut yang dipilih melalui akal pikiran. Rekonstruksionisme memiliki dasar-dasar pemikiran, sebagai berikut :
·         Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis yang sedang dialami dunia saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang kependudukan, kesenjangan distribusi kekayaan, rasisme, sumber daya alam yang terbatas, dan penggunaan teknologi yang tidak bertanggungjawab. Jika praktik-praktik tersebut tidak dikoreksi atau tidak diubah diubah secara mendasar maka peradaban akan mengalami kehancuran. Menurut pandangan rekonstruksionis, persoalan muncul karena hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas .
Dalam usahanya untuk menerapkan rekonstruksionisme, di negara-negara barat bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan perpaduan antara ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan tekonologi modern, dan seni modern dalam suatu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia. Tujuannya yakni mencita-citakan terwujudnya suatu dunia harus dengan suatu kebudayaan baru dari satu kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia
·         Perlunya penciptaan tatanan sosial yang menyeluruh sebagai solusi permasalahan di dunia
Aliran rekonstruksionisme percaya bahwa tujuan utama dan tertinggi adalah kerjasama semua bangsa. Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Kerjasama menyeluruh semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia ini dengan keterbatasan sumber daya alamnya. Hari depan bangsa-bangsa adalah sebuah dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai suatu golongan. Cita-cita demokrasi ini bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan karena hanya dengan cara demikian dapat diwujudkan sebuah dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, keamanan dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membeda-bedakan warna kulit, nasionalitas, dan kepercayaan.
·         Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial
Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai instrumen utama perubahan sosial. Berdasarkan perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial atau membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan. Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan di dunia dan mendorong secara aktif untuk memberikan solusi. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat tidak berfungsinya bebrapa aspek sekarang ini dan membantu mereka mengembangkan alternatif bagi kebijakan konvensional
2.3.5 Tujuan Penerapan Aliran Rekonstruksionis
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang baru di seluruh lingkungannya. Rekonstruksionisme ini juga ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan

Pada dasarnya, aliran rekonstruksionisme menekankan pada kebutuhan untuk perubahan, yaitu perubahan sosial dan tindakan sosial. Pemikiran untuk mengembangkan perubahan didasarkan atas pemikiran bahwa individu dan masyarakat akan dapat membuat suatu perubahan yang lebih baik. Mungkin seseorang memandang dan membandingkan ide ini dengan sejenis perkembangan evolusioner yang dikenal dengan aliran Hegel yang dihubungkan dengan pemikiran Dewey yaitu kita dapat membantu dalam proses perpindahan suatu hal dari kondisi, yang kurang diinginkan ke kondisi yang diinginkan. Namun, dalam aliran rekonstruksionisme, akan melibatkan lebih banyak masyarakat sebagai agen perubahan untuk mengubah diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka. Aliran rekonstruksionisme menolak filsafat yang abstrak dimana penekanannya lebih kepada “tahu” dibandingkan “melakukan”. 

Sejarah tes psikologi

Sejarah tes psikologi

Usaha pengukuran mental dimulai dengan rintisan oleh A. Binet, seorang dokter Perancis dalam tahun 1890, yang tertarik untuk meneliti anak-anak yang pintar dan yang tidak (keterbelakangan mental). Usahanya bersama Simon, juga dari Perancis, membuahkan tes inteligensi Binet-Simon. Usaha tersebut kemudian diteruskan di Amerika Serikat oleh L.M. Terman dari Universitas Stanford yang bersama M.A. Merril bertujuan merevisi dan menyempurnakan tes buatan Binet. Hasilnya adalah tes kecerdasan Stanford-Binet pada tahun 1937 dengan penyempurnaan yang penting, yaitu mulai digunakannya ukuran berupa kuosien kecerdasan (intelligence quotient). Sejak itu, usaha-usaha penyusunan tes meluas dan maju pesat mencakup bidang-bidang kepribadian yang luas untuk berbagai penggunaan dan dengan menggunakan teknologi yang makin canggih. Bidang penggunaan tes meluas, tetapi sebagaimana bisa diduga pendidikan (sekolah) adalah pengguna yang utama.
Sebelum tahun 2200 SM ketika kerajaan cina menguji pejabat setiap tiga tahun untuk menjaga kebugaran pekerjanya kantor. Lalu, pada dinasti Han (202 SM – 200 M) ada lima topik yang menjadi bahan yang di ujikan yaitu hukum perdata, urusan militer, pertanian, pendapatan, dan geografi.
Pada tahun 1885, para dokter Jerman Hubert von Grashey mengembangkan anteseden drum memori sebagai sarana untuk menguji pasien pada luka di otak.
Sebagian besar sumber kredit Wilhelm Wundt (1832-1920) dengan mendirikan laboratorium psikologi pertama pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman. Hal ini diakui kurang baik bahwa ia mengukur proses mental tahun sebelumnya, setidaknya pada awal 1862, ketika ia bereksperimen dengan pemikiran meteran nya  (Diamond, 1980).  Perangkat ini adalah pendulum dikalibrasi dengan jarum menempel dari setiap sisi. Pendulum akan berayun bolak-balik, lonceng mencolok dengan jarum.
Sir Francis Galton (1822-1911) memelopori psikologi eksperimental baru di abad kesembilan belas Inggris. Galton terobsesi dengan pengukuran, dan karir intelektualnya. Usahanya untuk mengukur kecerdasan dengan cara waktu reaksi dan tugas diskriminasi sensorik.
James McKeen Cattell (1860-1944) mempelajari psikologi eksperimental baru dengan Wundt dan Galton sebelum menetap di Columbia University selama dua puluh enam tahun, ia adalah dekan yang tak terbantahkan psikologi Amerika.
Dengan awal 1800-an, pikiran sehat mulai berlaku. Praktisi medis menyadari bahwa beberapa dari mereka dengan gangguan kejiwaan memiliki penyakit yang tidak selalu berarti kecerdasan berkurang. sedangkan orang biasa lainnya, orang-orang dengan keterbelakangan mental, menunjukkan kontinuitas perkembangan yang lebih besar dan selalu memiliki gangguan kecerdasan.
J.E.D Esquirol (1772-1840) adalah orang pertama yang meresmikan perbedaan secara tertulis. Terobosan diagnostik nya mencatat bahwa keterbelakangan mental adalah fenomena perkembangan seumur hidup sedangkan penyakit mental biasanya memiliki onset lebih mendadak di masa dewasa. Dia berpikir bahwa keterbelakangan mental tidak dapat disembuhkan, sedangkan penyakit mental mungkin menunjukkan peningkatan. Dia mengakui tiga tingkat retardasi mental: (1) mereka yang menggunakan frase pendek, (2) orang-orang hanya menggunakan suku kata tunggal, dan (3) orang-orang dengan teriakan saja, tidak ada pidato (berbicara).
O. Edouard Seguin (1812-1880) memiliki sifat humanis terhadap orang-orang dengan keterbelakangan mental di akhir 1800-an. Dia pernah menjadi mahasiswa Esquirol dan telah juga belajar dengan JMG Itard (1774-1838), yang dikenal lima tahun untuk melatih Wild Boy of Aveyron, seorang anak liar yang hidup di hutan pertama sekitar 11 atau 12 tahun Seguin meminjam  teknik yang digunakan oleh Itard dan mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan program pendidikanuntuk orang dengan keterbelakangan mental. Awal 1838, ia mendirikan sebuah kelas eksperimen bagi individu tersebut. Usaha pengobatannya diterima dia mendapat pengakuan internasional dan ia akhirnya datang ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pekerjaannya dan pada 1866 dia membuat treatment dengan metode psikologis.
Alfred Binet (1857-1911) menemukan modern pertama tes kecerdasan pada tahun 1905. Pada tahun 1908, Binet dan Simon menerbitkan revisi skala tahun 1905. Dalam skala lebih awal, lebih dari setengah item telah dirancang untuk sangat terbelakang, namun keputusan diagnostik utama yang terlibat anak yang lebih tua dan orang-orang dengan kecerdasan batas. Pada tahun 1916, Terman dan rekan-rekannya di Stanford merevisi skala Binet-Simon, memproduksi Stanford-Binet. Binet meninggal pada tahun 1911 sebelum IQ melansir pengujiannya Amerika.

Tes Awal di US
Skala Binet-Simon  untuk mengidentfikasi anak-anak yang membutukan sekolah khusus. Dengan kesuksesan aplikasi tes mental, ahli psikologi mengintervensi beberapa perbedaan kelas sosial. Berbeda dengan ahli psikologi di US, tes kecerdasan untuk masalah sosial seperti mengidentifikasi imigran dengan mental reterdasi dan secara cepat untuk mengklasifikasasi pada rekrutmen tentara (Boake, 2002).
Pada tahun1906, Henry H. Goddard yang bersekolah dipelatihan Vineland New Jersey meneliti tentang klasifikasi dan pendidikan pada anak “feebleminded” (berpikir lemah). Dia menterjemahkan skala Binet-simon 1908. Faktanya, Goddard membuat kontribusi sendiri mengenai diagnostik moron (dalam bahasa yunani moronia, yang bermakna tanpa akal sehat/dungu).
Penemuan tes nonverbal pada awal 1900an. Karena skala Binet-Simon menggunakan kemampuan verbal. Beberapa ahli psikologi merilis pengukuran baru dengan pendekatan subjek tidak berbicara bahasa Inggis, buta huruf, ganguan bicara dan pendengaran.
Knox (1914) mengunakan tes performance untuk imigran di pulau Ellis. Dia menggunakan tugas nonverbal seperti wooden puzzle sederhana dan digit simbol tes tambahan. Pintner dan Paterson (1917) menemukan 15 bagian pada skala tes performance yang digunakan pada bentuk papan, puzzle dan tes object assembly.
Goddard orang yang pertama menterjemahkan skala Binet di US, professor Stanford – Lewis M. Terman (1957-1956) yang mempulerkan tes IQ dengan revisi skala Binet 1916. Stanford-Binet selalu di validasi dalam korelasi dengan pengukuran. Selalu berlanjut hingga revisi 1937 dan 1969 oleh scala Wesler hingga menjadi sempurna. Pada tahun 2003 revisi terakhir Stanford-Binet telah sempurna.
Tes kelompok dan klasifikasi pada rekrutmen perang dunia pertama. Pengembangan pertama untuk tes kelompok oleh Pyle (1913), yang menerbitkan norma anak-anak sekolah seperti memory span, digit-symbol, dan asosiasi oral perkata. Kemudian Pintner (1917) merevisi dan memngembangkan Pyle battery, ditambah dengan waktu pembatalan. M. Yerkes, profesor Harvard, merekrut tentara untuk tes kecerdasan yang dikenal dengan Army Alpha dan Army Beta.
Tes bakat mengukur lebih spesifik dan kemampuan terbatas dibandingkan tes kecerdasan. Dikembangkan oleh Spearman (1904) tapi kurang diterima sampai tahun1930an. Kemudian Thurstone mengembangkan ke faktor spesifik pada kemampuan mental seperti verbal comprehension, word fluency, number facility, kemampuan spasial, asosiasi ingatan, kecepatan perseptual dan general reasoning.
Thematic Appreception Test (TAT), diperkenalkan oleh Morgan dan Murray pada tahun1935 dengan dasar hipotesis proyeksi: ketika respon abigu atau stimuli tidak terstruktur, menguji secara tidak sengaja mengungkapkan kebutuhan terdalam, fantasi, dan konflik-konflik.

Perkembangan pada interest (minat) inventories berawal oleh Thorndike (1912) yang mempelajari perkembangan minat pada 100 murid. Cowdery (1926-1927) meningkatkan dan menyempurnakan instrumen dengan meningkatkan jumlah item, membandingkan dengan tiga kelompok (dokter, insinyur, dan pengacara) dengan kelompok kontrol nonprofessional, dan mengembangkan formula bobot untuk item. Kemudian Edward K. strong (1884-1963) merevisi tes Cowdery.

Selasa, 10 Mei 2016

Pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah (science)

Pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah (science)

Apa perbedaan antara Pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah (science)?
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengetahui, memahami dan mengerti benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut Science, dari bahasa Latin yang berasal dari kata Scientia (pengetahuan) atau Scire (mengetahui). Sedangkan dalam bahasa Yunani adalah
Episteme (pengetahuan).
Dalam kamus Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu (Kamus Bahasa Indonesia, 1998)
            Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sebelum filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang, lebih dulu berkembang mitos dan pengetahuan pra-ilmiah sebagai jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi manusia. Tatkala jawaban yang diberikan mitos dan pengetahuan sehari-hari itu tidak lagi memuaskan (memadai), muncul upaya untuk menjelaskan fenomena alam dengan penjelasan rasional dan kemudian didasarkan atas pengalaman (empiri) untuk memberikan jawaban terhadap fenomena alam dan pengalaman hidup manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, kita mengenal bermacam-macam jenis pengetahuan (pengetahuan agama, pengetahuan sehari-hari, pengetahuan ilmiah). Sedangkan pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode serta sistematika tertentu. Dengan demikian, cukup jelas bahwa pengetahuan (knowledge) lebih luas daripada pengetahuan ilmiah (science). Pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan hanya salah satu jenis pengetahuan yang meiliki ciri-ciri khusus. Thomas Huxley mengemukakan bahwa inti sains tidak lebih akal sehat yang terlatih dan tertata. Perbedaannya, seperti perbedaan antara seorang veteran dengan seorang prajurit baru; dan metode ilmiah berbeda dari akal sehat, seperti perbedaan antara serangan seorang prajurit yang memilii senjata dan teknologi modern dengan serangan primitive yang bersenjata pentungan (Calne, 2004:206).
2.1.2 Pengetahuan sehari-hari dan penegetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan)
Perbedaan Pengetahuan sehari-hari dan penegetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan)
No
Faktor Pembeda
Pengetahuan sehari-hari
Pengetahuan ilmiah
1
Tujuan
Berguna untuk kehidupan sehari-hari
Mengemukakan kebenaran, memperluas pemahaman/pengetahuan, deskripsi, eksplanasi, interpretasi, prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, kontrol
2
Metode
Tanpa metode
Kualitatif, Kuantitatif
3
Bahasa
Ambigu/kabur
Lugas/tepat, verifikasi/falsifikasi

Pengetahuan sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Karena itu, diswebut juga dengan pengetahuan eksistensial. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya banyak ditemukan cara pengobatan yang termasuk pengetahuan eksistensial dan di wariskan secara turun-temurun. Contohnya adalah berbagai jenis jejamuan yang digunakan oleh masyarakat tradisional tanpa pembuktian laboratorium (pembuktian ilmiah).
Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari, tujuan ilmu pengetahuan/pengetahuan ilmiah adalah untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Menjawab pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah. Penjelasan (erklaeren atau eksplanasi) adalah pemaparan yang bersifat kausalita. Misalnya, air jika dipanaskan pada temperatur 100 derajat Celsius, maka air akan mendidih. Penjelasan kaussalitas merupakan tujuan ilmu pengetahuan yang terpenting (terutama pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang menggunakan metode ilmu pengetahuan alam). Ilmu penetahuan yang menjelaskan atau berupaya mencari hokum-hukum atam disebut nemotetis. Pada psikologi behaviorisme, “stimulus-respons” merupakan penjelasan kausalitas terkait tingkah laku manusia.
Di samping untuk menjelaskan fenomena alam, tujuan lainnya dari ilmu pengetahuan. Yaitu, deskripsi/ pemaparan, (3) retrodiksi, (4) prediksi, dan (5) kontrol (Sudarminta, 2002). Berbeda dengan penjelasan, deskripsi adalah upaya untuk menjawab pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, dan berapa. Intinya, deskripsi merupakan bentuk pemaparan atau laporan mengenai suatu peristiwa atau fenomena sosial-budaya.
Retrodiksi adalah model pemaparan rekonstruksi tentang masa lalu, yang didasarkan atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Retrodiksi adalah model pemaparan yang berorientasi ke masa lalu, maka sebaliknya prediksi adalah model pemaparan yang berorientasi pada masa depan. kontrol adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk merekayasa peristiwa atau fenomena alam dengan data-data/pertimbangan ilmiah.
Disamping perbedaan tujuan dan metode, pengetahuan sehari-hari menggunakan bahasa sehari-hari dan ilmu pengetahuan menggunakan bahasa ilmiah. Jika bahasa sehari-hari digunakan maka tanpa mempertimbangkan ketepatan sehingga bisa bermakna ganda atau tidak jelas. Bahasa ilmiah digunakan dengan lugas dan jelas (ketat). Oleh karena itu, dalam bahasa ilmiah, konsep-konsep penting biasanya dirumuskan dalam bentuk definisi, sehingga ada kesepakatan tentang pengertian/teori yang digunakan.
Brian Fay mengemukakan tiga model mengetahui. Yaitu (1) mengetahui berarti “mampu mengidentifikasi”. (2) “memiliki pengalaman yang sama”. (3) sanggup menguraikan dan menerangkan. Ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar mengetahui dalam pengertian yang pertama, akan tetapi lebih pada cara mengetahui model ketiga yaitu pada taraf menguraikan dan menjelaskan (Fay, 2002: 9).
Hampir sama dengan Brian Fay, Sony Keraf dan Mikhael  Dua membedakan antara pengetahuan (1) “tahu bahwa”, (2) “tahu bagaimana”, (3) “tahu akan/mengenai” dan (4) “tahu mengapa”.
Pengetahuan tahu bahwa adalah jenis pengetahuan informative-teoritis. Seperti “mampu mengidentifikasi” sesuatu. Misalnya, seseorang tahu bahwa jika logam dipanaskan akan memuai. Jenis kedua, “pengetahuan tentang bagaimana” biasa disebut sebagai pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis biasanya juga didasari oleh pengetahuan teoritis. Selanjutnya “pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman atau pengenalan pribadi berkaitan dengan objek tertentu (singular). Tingkat objektivitas pengetahuan yang didasarkan atas  pengalaman sendiri biasanya lebih tinggi dan lebih akurat. Adapun “jenis pengetahuan tahu mengapa” adalah jenis pengetahuan yang lebih dalam “tahu bahwa”, lantaran pengetahuan ini tidak berhenti pada informasi, akan tetapi lebih jauh mengetahui mengapa sesuatu terjadi.
2.1.3 Ciri ilmu pengetahuan
Menurut Van Melsen mengemukakan ciri-ciri pengetahuan ilmu pengetahuan, adalah sebagai berikut:
1.      Metodis (memiliki metode, logis dan koheren) sebagai dasar pembenaran teorinya (justifikasi).
2.      Sistematis
3.      Universal (berlaku dimana saja)
4.      Objektif/intersubjektif
5.      Progresif (dinamis, teori bersifat tentatif)
6.      Dapat digunakan (ada kaitan antara teori dengan praktik)
7.      Tanpa pamrih (prinsip ilmu demi ilmu)
Beerling (1986) mengemukakan beberapa ciri ilmu pengetahuan: (1) anggapan bahwa pengetahuan berlaku umum (universal). (2) ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan mandiri (otonom) dalam mengembangkan norma-norma ilmiah. (3) memiliki dasar pembenaran (misalnya: verifikasi, dan falsifikasi). (4) bersifar sistematik. (5) objektif (intersubjektif).
Robert Merton, seorang sosiolog (terkait metode ilmiah). Mengemukakan ciri-ciri metode ilmiah yang diterima secara luas, yaitu (1) “universalisme”, (2) “komunisme, (3) ketanpa-pamrihan”, (4) “skeptisme” dan (5) “terorganisir”.
Universal mengacu pada suatu pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui batas-batas individu, ruang, waktu atau tempat penemuan teori tersebut dan dapat diterapkan. Komunisme adalah mengumumkan sehingga temuan ilmiah bukan milik perorangan, organisasi, universitas atau lembaga ilmiah tetapi menjadi milik bersama.tanpa pamrih berarti mengacu pada pencarian pengetahuan demi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk keuntungan pribadi. Skeptisisme dan terorganisir adalah sebagai sikap yang harus dimiliki ilmuan dengan tidak menerima begitu saja temuan orang lain, tetapi menerimanya dengan kritis dengan melakukan tes ulang (verifikasi, falsifikasi).
Aspek-aspek yang menjadi fokus utama dalam bahasan filsafat ilmu pengetahuan diantaranya:
1.      Studi tentang: (a) konsep-konsep, pengandaian serta metodologi ilmu, (b) analisis konsep-konsep dan bahasa yang digunakan dan (c) ekstensi dan rekonstruksi bagi aplikasi yang lebih konsisten dan memperoleh ilmu pengetahuan.
2.      Studi dan justifikasi (pembenaran) proses penarikan kesimpulan yang digunakan ilmu pengetahuan serta struktur simboliknya.
3.      Studi tentang keragaman bidang ilmu serta sifat saling keterkaitannya, persamaan, perbedaan, serta persoalan paradigmanya.
4.      Studi tentang konsekuensi-konsikuensi pengetahuan ilmiah bagi persepsi kita tentang realitas, pemahaman tentang fenomena alam, hubungan logika dan matematika dengan realitas,  status entitas-entitas teoritis, sumber-sumber ilmu pengetahuan dan validitasnya; hubungan ilmu pengetahuan dengan subjek (ilmuan) serta dengan nilai-nilai (etika, estetika).
Istilah-istilah yang penting dalam filsafat ilmu pengetahuan
1.      Fakta: segala sesuatu yang ada di alam ini. Sesuatu yang dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan benar-salahnya secara empiris.
2.      Konsep: baha dan simbol untuk mendeskripsikan fakta atau dunia empiris. Fungsinya: memberikan pemahaman. Membantu mengenali sifat-sifat fenomena yang menjadi fokus objek kajian, memberikan sudut pandang, dan membantu mengorganisir gagasan, data dan lain-lain.
3.      Definisi konseptual dan operasional: definisi yang menggunakan konsep-konsep tertentu untuk mendefinisikan konsep lain.
4.      Postulat: berfungsi sebagai dasar/fondasi dalam ilmu pasti.
5.      Asumsi: anggapan dasar yang menjadi titik tolak penelitian.
6.      Hipotesis: prediksi, pernyataan sementara dalam bentuk fondasi/pengandaian.
7.      Teori: penjelasan tentang apa yang terjadi, atau penjelasan mengapa gejala (proses) tertentu terjadi.
2.2 Empirisme-eksperimen
Kaum empiris adalah mereka yang mengkuduskan eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan yang mengumumkan dengan sangat bangga bahwa mereka tidak mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan eksperimen dan dibuktikan dengan secara empiric. (mereka terus berkata) bahwa karena posisi teologi ini berkenaan dengan persoalan ghoib diluar batas - batas indra dan eksperimen, maka kita wajib mengesampingkannya, dan berpaling kepada kebenaran- kebenaran dan pengetahuan yang dicerap dalam lapangan eksperimen.
Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiria” yang berarti pengalaman inderawi. Karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Seorang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan di dapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil- hasil penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan, betapapun rumitnya pengetahuan, dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah pengetahuan. Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat- alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam otak dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan- tanggapan mengenai objek yang merangsanng  alat- alat inderawi tersebut.
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/ penginderaan. Pengalaman merupaka nfaktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Tanpa adanya rangsangan dan informasi dari indera maka manusia tidak akan memperoleh pengetahuan apapun, karena inderalah yang merupakan sumber utama pengetahuan dalam pandangan kaum empiris.
Empirisme merupakan aliran yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme di ambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivism logis dan filsafat Ludwig Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris, jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat diindra, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama. Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu.
Empiris adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme adalah salah satu dari beberapa pandangan yang mendominasi bersaing dalam studi pengetahuan manusia, yang dikenal sebagai epistemologi. Empirisme menekankan peran pengalaman dan bukti terutama persepsi sensorik, Empirisme kemudian, dalam filsafat ilmu , menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait erat dengan bukti, terutama seperti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji terhadap pengamatan dari alam, bukan hanya intuisi atau wahyu. Namun, kelemahan dari aliran empirisme adalah :
·         Indera menipu
·         Indera terbatas
·         Objek dan indera menipu


2.2.2 Eksperimen
Eksperimen atau percobaan telah menjadi subyek perdebatan di kalangan sejarawan ilmu pengetahuan modern.  Pandangan yang diterima adalah eksperimen yang muncul pada abad 17 sebagai bagian dari era diskontinuitas radikal dalam metode dan praktek-praktek menyelidiki alam. Di antara para filsuf alam yang mengembangkan dan mempraktekkan percobaan, beberapa yang paling terkenal adalah Francis Bacon (1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Robert Boyle (1627-1691), dan Isaac Newton (1642-1727).  Eksperimen meruapakan metode untuk perolehan pengetahuan alam. 
Kelompok empiris meyakini bahwa pengetahuan ilmiah yang baru adalah hasil observasi dan pengukuran yang teliti dari para ilmuwan terhadap fenomena, serta kesediaan mereka untuk melakukan eksperimen guna memastikan hubungan matematis yang tepat yang mungkin ada diantaranya. Bagi kalangan empiris, eksperimenlah yang menjamin pengetahuan, bukan bukti matematis.
Tokoh-tokoh empirisme lainnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang telah diterima orang terhadap kebenarannya melalui persentuhan indera dengan dunia nyata.Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen
2.2.3 Tokoh
1.      Thomas Hobbes
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada tahun 1558 M. I adalah putra dari pastor yang membangkang dan suka berdebat. Keluarganya terpaksa keluar dari daerahnya akibat situasi yang kurang mendukung. Thomas Hobbes adalah sosok yangh cerdas, terbukti pada umur 6 tahun sudah menguasai bahasa Yunani dan Latin dengan amat baik dan pada umur 15 tahun sudah belajar di Oxford University.
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi  pada awal gerak reaksi tadi.
Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
2.      John Locke
John Locke lahir di Inggris pada tanggal 29 Agustus 1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia di sebut filsuf inggris dengan pandangan empirisme. Locke sering di  sebut sebagai tokoh yang membrerikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa itu pada saat mula- mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah tabula rasa.[14]
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Baginya, pemikiran Descrates mengenai akal budi kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai akal budi dan spekulasi abstrak, kita seharus menaruh perhatian dan kepercayaan kepada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui panca indra. Ia hadir secara apeteriori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya melalui mencium, merasa, mengecap, dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan- gagasan dan pikiran sederhana.[15]
Yang membedakan Locke dengan lainnya adalah karakter pemikirannya yang empiris di bangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua pengalaman (pengetahuan), kata Locke, berawal dari pengalaman. Pengalaman memberi kita sensasi- sensasi. Dari sensasi ini kite memperoleh berbagai macam ide baru yang lebih kompleks. Dan pikiran kita terpengaruh oleh perasaan refleksi. Kendati Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain, namun Locke juga menerima metafora sentral Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh. Terbukti, dia memandang bahwa pengetahuan pertama- tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.
Selain itu, Locke membedakan antara apa yang dinamakannya “kualitas primer” dan “kualitas skunder”. Yang dimaksud dengan kualitas primer adalah luas, berat,Yang dimaksud dengan kualitas primer adalah luas, berat, gerakan, jumlah dan sebagainya. Jika sampai pada masalah kualitas seperti ini, kita dapat merasa yakin bahwa indra- indra menirunya secara objektif. Tapi kita juga akan merasakan kualitas- kualitas lain dalam benda – benda. Kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu manis atau pahit, hijau atau merah. Locke menyebut ini sebagai kualitas skunder. Penginderaan semacam ini tidak meniru kualitas- kualitas sejati yang melekat pada benda- benda itu sendiri.
Proyek epistemologis Locke mencapai puncaknya dalam positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme  terutama adalah prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Empirisme memiliki keyakinan bahwa semesta adalah sesuatu yang hadir melalui data indrawi. Karenanya pengetahuan harus berumber pengalaman dan pengamatan empirik.
3.      David Hume
David Hume lahir pada tahun 1711 dan wafat pada tahun 1776 . Hume adalah pelopor para empiris, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indra. Menurutnya, ada batasan- batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat  diambil melalui persepsi indra. David Hume lah aliran empirisme memuncak . empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih pengalman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengetahuan itu dapat bersifat lahiriah  dan  dapat pula bersifat batiniyah. Oleh karena itu pengenalan inderawi meruakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal yang dicermati oleh Hume adalah substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan- kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama- sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan- kesan.
--Ibn al-Haytham (965-1040 M)
Bila orang-orang Eropa dari masa modern masih saja berpandangan bahwa orang Inggris Roger Bacon (1214-1296) dan orang Prancis Francis Bacon (1561–1626)  yang memprakarsai metode eksperimental dalam penelitian ilmiah, mereka semestinya menengok apa yang telah dilakukan oleh Hasan ibn al-Haytham beberapa abad lebih awal. Catatan detail mengenai penerapan metode eksperimental ini tertuang dalam karya penting ibn al-Haytham, yakni Kitab al-Manazir atau Buku Optik.
Karya yang terbit pada 1021, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin ke Eropa, ini memuat telaah ibn al-Haytham yang luas dan dalam mengenai cahaya—teorinya tentang refleksi dan refraksi cahaya juga mendahului Snellius. Telaah ibn al-Haytham bertumpu pada perpaduan antara observasi, eksperimen, perhitungan matematis, maupun argumen rasional.
Sebelum menjelaskan pandangannya tentang topik tertentu, ibn al-Haytham lebih dulu menjelaskan metode eksperimennya. Sebagai ilmuwan, ibn al-Haytham tidak mau mengambil jalan ‘eksperimentasi dalam pikiran’. Ia betul-betul menguji hipotesisnya dengan mengadakan eksperimen praktis terlebih dulu. Dari hasil eksperimen ini, ibn al-Haytham mengambil kesimpulan untuk menolak atau menerima hipotesis yang ia ajukan. Salah satu eksperimennya melahirkan teori tentang pergerakan cahaya dan camera obscura yang menjadi dasar pembuatan kamera.
Menarik bahwa al-Haytham tidak berhenti sampai di situ. Untuk mendukung kesimpulan dari hasil eksperimennya, ia mengajukan argumen-argumen rasional. Ia juga menopangnya dengan pendekatan matematis, yang menjadikan pandangannya secara ilmiah berdiri di atas landasan yang kokoh. Ibn al-Haytham menolak teori emisi kuno perihal penglihatan yang didukung oleh orang Yunani, Ptolemius dan Euclidus, yang menyebutkan bahwa mata manusia memancarkan berkas cahaya sehingga mampu melihat benda-benda. Ia juga menolak teori intromisi kuno dari orang Yunani lainnya, Aristoteles, bahwa obyek memancarkan partikel-partikel fisik ke mata sehingga manusia dapat melihat. Ibn al-Haytham mengajukan pandangannya sendiri bahwa manusia bisa melihat benda, sebab benda memantulkan cahaya yang berasal dari sumber lain.
Cara Ibn al-Haytham memadukan observasi dan argumen-argumen rasional memberi pengaruh besar terhadap Roger Bacon dan Johannes Kepler. Bacon (1214-1296), yang belajar di bawah bimbingan Grosseteste, terilhami oleh tulisan-tulisan Ibn al-Haytham. Ilmuwan Barat sesudah Bacon mengenal nama ini sebagai perintis metode eksperimental, padahal sebelum Bacon—maupun Francis Bacon—sudah ada Ibn al-Haytham.
Ibn al-Haytham mengembangkan metode eksperimental ketat. Metode ilmiah ibn al-Haytham sangat mirip dengan metode ilmiah modern dan mencakup siklus berulang observasi, hipotesis, eksperimentasi, dan verifikasi independen.
Dalam karyanya, Ibn al-Haytham: First Scientist, Bradley Steffen berpendapat bahwa pendekatan Alhazen—nama Latin Ibn al-Haytham—terhadap pengujian dan eksperimentasi membuahkan kontribusi penting bagi metode ilmiah. Matthias Schramm juga menyebutkan bahwa Alhazen merupakan orang pertama yang menciptakan penggunaan sistematis metode kondisi eksperimental yang beragam dengan cara yang konstan dan seragam. Inilah pengakuan yang akhir-akhir ini mengembalikan ibn al-Haytham pada posisinya sebagai perintis metode empiris dalam sains.
Sarjana lain, Gorini, menulis tentang peran Ibn al-Haytham: “Menurut mayoritas sejarawan, al-Haytham adalah pionir metode ilmiah modern. Dengan bukunya, ia mengubah makna pengertian ‘optik’, dan menjadikan eksperimen sebagai norma pembuktian dalam bidang ini. Penyelidikannya didasarkan bukan pada teori-teori abstrak, melainkan pada bukti-bukti eksperimental. Eksperimennya sistematis dan dapat diulangi (repeatable).”
Metode empiris ibn al-Haytham merevolusi pemikiran dan cara kerja ilmuwan dalam menemukan kebenaran ilmiah pada zamannya dan kemudian memengaruhi kemajuan sains di Eropa dan belahan bumi lainnya
2.3. Rekonstruksionisme
2.3.1 Pengertian dan Ide Gagasan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru yaitu masyarakat yang dipandang pantas dan adil. Dalam pidato provokatifnya, Count berpendapat bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan sosial baru dan juga mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik agar mengorganisasi diri dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Sehingga sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Aliran rekonstruksionisme bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan sosial melalui pendidikan. Hal tersebut merupakan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah karena pada zaman dahulu ada anggapan bahwa pendidikan akan menjauhkan diri dari masyarakat.
Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey dan ini menjelaskan mengapa aliran rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatisme. Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme, gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Pada rekonstruksionisme, peradaban manusia di masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir kritis, dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berpikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu. Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar daripada proses.
Rekonstruksionisme memang merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme, dan memiliki berbagai persamaan. Kedua aliran tersebut melekatkan kepentingan pokoknya pada pengalaman yang dimiliki. Misalnya, karya Pratt (1948) mengilustrasikan kesatuan rekonstruksionisme dan progresivisme. Pada bukunya, “I Learn From Children”, beliau menyatakan bahwa Sekolah Kota dan Kampung yang didirikan di kota New York pada tahun 1914 berusaha mencocokkan sekolah dengan anak, bukan sebaliknya menyesuaikan anak dengan sekolah. Sehingga kelas pun bercirikan dengan interaksi antara guru dengan para siswanya. Perbedaan rekonstruksionisme dan progresivisme adalah jika progresivisme adalah pemecah persoalan (problem-solver) yang baik dan bergerak sebagai promosi perubahan yang berguna bagi pribadi dan masyarakat. Intinya, dalam progresivisme, belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. Sedangkan, rekonstruksionisme juga sebagai pemecah perssoalan tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian masalah sosial yang signifikan. Sehingga prinsip rekonstruksionisme adalah menciptakan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul di masa yang akan datang.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan yang terganggu, sakit, penuh kebingungan, seta kesimpangsiuran proses. Sehingga, menurut pandangan rekonstruksionisme, perlunya merombak tata susunan lama dan membangan tata susunan hidup kebudayaan yang baru dan untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa. Aliran ini mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan). Singkatnya dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman dan subordinate dari kedaulatan dan otoritas internasional.
Para rekonstruksionis berpendapat bahwa pendekatan mereka merupakan permulaan yang radikal bagi aliran filsafat pragmatisme. Filsafat rekonstruksionisme telah memberikan pandangan tentang sebuah dunia yang sempurna dan memberikan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini mungkin kelemahan dari filsafat yang lain karena tidak mempunyai tujuan pada masa yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perhatian terhadap nilai sosial, keadilan pada manusia, komunitas manusia, keamanan dunia, keadilan ekonomi, persamaan kesempatan, kebebasan dan demokrasi merupakan tujuan dari filsafat rekonstruksionisme.

2.3.2 Latar Belakang Sejarah Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya karya John Dewey yang berjudul Reconstruktion in Philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George Count dan selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun telah  pula diformulasikan oleh George S. Count dalam sebuah karya klasiknya “Dare The School Build a New Social Order” yang diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran Perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Singkatnya, perenialisme adalah aliran yang menawarkan solusi jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman kuno dan pertengahan, untuk mengatasi situasi dunia saat ini. Menurut aliran rekonstruksionisme maupun perenialisme, keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Plato adalah salah satu tokoh dari aliran rekonstruksionisme. Dia membuat sebuah garis besar tentang perencanaan bagi kondisi dimana pendidikan akan menjadi sebuah bahan untuk membentuk masyarakat baru dan lebih baik. Plato yakin bahwa kondisi tersebut sangat diinginkan oleh masyarakat. Walaupun usaha Plato untuk mewujudkan masyarakat seperti itu gagal, tetapi dia telah maju selangkah pada masanya.
Jika merenungkan pemikiran Plato sampai dengan Skinner, dapat diketahui bahwa mereka merekomendasikan pendidikan sebagai alat utama bagi perubahan sosial. Di Amerika Serikat, sejumlah orang memandang pendidikan sebagai alat bagi reformasi sosial. Salah satu tokohnya, yaitu John Dewey, yang memandang pendidikan sebagai alat bagi perubahan baik kemanusiaan dan sosial. Aliran filsafat pragmatisme yang menjadi dasar pemikiran Dewey dihubungkan dengan penolakan hal-hal yang absolut dan menerima hal-hal yang bersifat relatif saja.
Tokoh lainnya yaitu Theodore Brameld, yakni seorang filsuf dan juga pendidik yang menerapkan ide penelitian rekonstruksionismenya kedalam pengajaran di Floodwood high School di Minnesota. Dalam proyek tersebut, dia bekerja dengan administrator untuk mengembangkan program pendidikan bagi junior dan senior yang melibatkan penggunaan berpikir kritis dalam proses belajar. Dia mencoba meyakinkan pada siswa dan guru bahwa isu-isu kontroversial harus memainkan peranan besar dalam pendidikan. Brameld merupakan penulis  selusin buku yang berkaitan dengan filosofi rekonstruksionisme.

2.3.3  Tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Theodore Burghard Hurt Brameld (1904-1987) adalah seorang filsuf pendidikan terkemuka abad ke-20 . Sebagai seorang pendidik Amerika dan filsuf pendidikan , Brameld terkenal sebagai pendiri Rekonstruksionisme Sosial . Dalam reaksi terhadap realitas Perang Dunia II , Brameld mengakui bahwa potensi pemusnahan manusia adalah melalui teknologi dan kekejaman manusia. Namun, kapasitas untuk menciptakan masyarakat dermawan adalah  menggunakan teknologi dan kasih sayang manusia.
Pada tahun 1930, Brameld tertarik pada kelompok aktivis sosial  di Teachers College, Columbia University, termasuk didalamnya George Counts, Harold Rugg, Merle Curti, dan William Heard Kilpatrick. Namun, diantara yang lainnya George Counts yang paling mempengaruhi pemikiran Brameld.. Menulis di The Social Frontier, sebuah jurnal kritik pendidikan dan politik, Brameld berpendapat bahwa filsafat radikal berfokus pada analisis kelemahan dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan analisis ini lahir cetak biru yang konstruktif untuk tatanan sosial baru yang menantang ketidakadilan sosial seperti prasangka, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi. Isu-isu ini dibahas dalam Minority Problems in Public School yang diterbitkan pada tahun 1945.
Brameld menganggap bahwa demokrasi adalah inti dari filsafat pendidikan nya. Pada tahun 1950, ia menegaskan dalam Ends and Means in Education: A Midcentury Appraisal bahwa pendidikan diperlukan perspektif rekonstruksi dan menyarankan Rekonstruksionisme sebagai label yang tepat untuk membedakan filosofi ini. Banyak ide-ide Brameld tumbuh dari pengalamannya dalam  menerapkan keyakinan filosofis untuk pengaturan sekolah di Floodwood, Minnesota, disana ia bekerja dengan siswa dan guru untuk mengembangkan tujuan demokrasi. Brameld bersikeras bahwa isu-isu kontroversial dan masalah seharusnya memainkan peran sentral dalam pendidikan, dan menganggap tidak ada masalah di luar batas untuk diskusi dan analisis kritis.
George Counts adalah seorang tokoh aliran rekonstruksionisme, yang masuk sekolah pascasarjana di University of Chicago pada tahun 1913. George Counts menyelesaikan gelar doctor di bidang pendidikan pada tahun 1916 dan juga belajar sosiologi di bawah arahan Albion W. Small. Pengalamannya dalam sosiologi membuatnya berkonsentrasi pada dimensi sosiologis dalam penelitian pendidikan. Hasil karya Counts berupa tulisan berjudul “Prinsip Pendidikan” yang ditulisnya bersama dengan J. Crosby Chapman. Counts ingin agar para pendidik atau guru untuk memimpin masyarakat, bukan mengikuti masyarakat. Para guru adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Selain itu, guru juga harus peduli dengan masalah kontroversial dalam bidang ekonomi, politik, dan moralitas.
Tokoh aliran rekonstruksionisme yang kedua adalah Harold Rugg. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu pendidik yang paling serbaguna terkait dengan gerakan pendidikan progresif. Rugg adalah pelopor yang menggunakan kurikulum sekolah sebagai alat untuk merekonstruksi perilaku masyarakat untuk menciptakan keadilan sosial.
Tokoh ketiga dalam aliran rekonstruksionisme adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang inovatif, yang mengungkapkan ide-ide tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka. Pratt mengembangkan metode belajar anak yang berfokus pada bermain karena menurutnya aktivitas bermain anak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kontribusi Pratt terlihat dengan berkembangngnya “Play School” atau sekarang lebih dikenal dengan nama Playground.

2.3.4 Prinsip – Prinsip Pemikiran
Pada prinsipnya, aliran ini memandang alam metafisika dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat, jasmani dan rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan bersifat mandiri, abadi, dan hubungan antara keduanya menciptakan suatu kehidupan alam. Rene Descarter menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima prinsip dualisme ini yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditanggap oleh panca indra manusia, sementara kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, realita itu ada dimana saja di setiap sempat. Untuk memahami suatu realita, dimulai dari sesuatu yang konkrit menuju hal yang khusus yang menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia. Misalnya, hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda-benda lain di sekeliling kita. Realita tidak terlepas dari suatu sistem di samping substansi yang dimiliki bagi tiap-tiap benda tersebut yang dipilih melalui akal pikiran. Rekonstruksionisme memiliki dasar-dasar pemikiran, sebagai berikut :
·         Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis yang sedang dialami dunia saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang kependudukan, kesenjangan distribusi kekayaan, rasisme, sumber daya alam yang terbatas, dan penggunaan teknologi yang tidak bertanggungjawab. Jika praktik-praktik tersebut tidak dikoreksi atau tidak diubah diubah secara mendasar maka peradaban akan mengalami kehancuran. Menurut pandangan rekonstruksionis, persoalan muncul karena hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas .
Dalam usahanya untuk menerapkan rekonstruksionisme, di negara-negara barat bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan perpaduan antara ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan tekonologi modern, dan seni modern dalam suatu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia. Tujuannya yakni mencita-citakan terwujudnya suatu dunia harus dengan suatu kebudayaan baru dari satu kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia
·         Perlunya penciptaan tatanan sosial yang menyeluruh sebagai solusi permasalahan di dunia
Aliran rekonstruksionisme percaya bahwa tujuan utama dan tertinggi adalah kerjasama semua bangsa. Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Kerjasama menyeluruh semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia ini dengan keterbatasan sumber daya alamnya. Hari depan bangsa-bangsa adalah sebuah dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai suatu golongan. Cita-cita demokrasi ini bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan karena hanya dengan cara demikian dapat diwujudkan sebuah dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, keamanan dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membeda-bedakan warna kulit, nasionalitas, dan kepercayaan.
·         Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial
Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai instrumen utama perubahan sosial. Berdasarkan perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial atau membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan. Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan di dunia dan mendorong secara aktif untuk memberikan solusi. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat tidak berfungsinya bebrapa aspek sekarang ini dan membantu mereka mengembangkan alternatif bagi kebijakan konvensional.

2.3.5 Tujuan Penerapan Aliran Rekonstruksionis
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang baru di seluruh lingkungannya. Rekonstruksionisme ini juga ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan
Pada dasarnya, aliran rekonstruksionisme menekankan pada kebutuhan untuk perubahan, yaitu perubahan sosial dan tindakan sosial. Pemikiran untuk mengembangkan perubahan didasarkan atas pemikiran bahwa individu dan masyarakat akan dapat membuat suatu perubahan yang lebih baik. Mungkin seseorang memandang dan membandingkan ide ini dengan sejenis perkembangan evolusioner yang dikenal dengan aliran Hegel yang dihubungkan dengan pemikiran Dewey yaitu kita dapat membantu dalam proses perpindahan suatu hal dari kondisi, yang kurang diinginkan ke kondisi yang diinginkan. Namun, dalam aliran rekonstruksionisme, akan melibatkan lebih banyak masyarakat sebagai agen perubahan untuk mengubah diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka. Aliran rekonstruksionisme menolak filsafat yang abstrak dimana penekanannya lebih kepada “tahu” dibandingkan “melakukan”.


BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sebelum filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang, lebih dulu berkembang mitos dan pengetahuan pra-ilmiah sebagai jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi manusia. Sedangkan pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode serta sistematika tertentu.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Empirisme barawal dari Plato hingga John Locke. Diantara tokoh- tokohnya adalah Davide Hume, Thomas Hobbes, dll. Empirisme memiliki banyak pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah dalam pengemangan berpikir induktif, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam, dll.
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan. Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep dan teori pengetahuan.
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
3.2 Saran
Saran penulis adalah sebaiknya menambah sumber baca buku untuk melengkapi pengetahuan mengenai kesatuan ilmu pengetahuan, empirisme-eksperimen, dan rekonstruksionalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari masa Klasik Hingga Potmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) hlm.357.
Baggini, Julian., Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, New York: Palgrave MacMillan, 2002.
Bakker, Anton. dan Zubari, Achmad Charis., (1990). Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisisus.
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Khun, (Jakarta: Teraju, 2002) hlm. 49
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 11
Henry J. Schmad, Filsafat Politik: Kajian Toeri Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 309
Jalaluddin & Abdullah. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Lubis, A. Y. (2015). Filsafat ilmu: klasik hingga kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme. Yogyakarta : Rakesarasin.
Muhammad Baqir Ash- Shadr, Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1994) hlm. 237
Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins 2002. A Short History of Philosophy, terjemahan. Yogyakarta: Bentang Budaya hlm. 386- 387
Uyyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm 32.